Kurs NZD/USD sempat melonjak sekejap pada perdagangan sesi Asia hari Rabu (19/7/2023) seusai rilis data inflasi New Zealand yang lebih tinggi dari ekspektasi. Posisinya langsung surut kembali ke kisaran 0.6265 saat berita ditulis, tetapi para analis menilai data inflasi tersebut mendukung kenaikan suku bunga lebih lanjut.
Badan Statistik New Zealand melaporkan indeks harga konsumen meningkat 1.1 persen (Quarter-over-Quarter) pada kuartal kedua tahun 2023. Pertumbuhan itu hanya sedikit lebih lambat daripada kenaikan 1.2 persen pada periode sebelumnya, sekaligus melampaui estimasi konsensus yang dipatok pada 1.1 persen.
Kenaikan harga-harga terutama terjadi pada kelompok makanan, perumahan, dan utilitas. Sementara itu, parameter inflasi inti tetap bertumbuh 6.0 persen di tengah tingginya biaya layanan jasa.
Laju inflasi tahunan juga hanya melambat dari 6.9 persen menjadi 6.0 persen, alih-alih melaju 5.9 persen seperti yang diharapkan oleh konsensus. Situasi ini merupakan tantangan bagi Reserve Bank of New Zealand (RBNZ) yang sebelumnya berharap tingkat bunga 5.5 persen sudah cukup untuk mengendalikan laju inflasi.
“Dengan tekanan gaji dan harga dasar tetap kokoh, RBNZ masih memiliki jalan terjal ke depan. Inflasi tampaknya tak mungkin kembali ke dalam rentang target 103 persen sebelum paruh kedua tahun depan,” kata Satish Ranchhod, ekonom senior di Westpac, “Kami terus melihat (adanya) risiko bahwa RBNZ akan perlu menaikkan bunga lagi.”
Pelaku pasar saat ini memperhitungkan peluang 50:50 untuk kenaikan suku bunga RBNA lanjutan, serta tidak akan ada pemangkasan bunga sampai Juli tahun depan. Dibandingkan dengan RBNZ, pasar memandang Federal Reserve AS lebih mungkin untuk memangkas suku bunga. Pasar saat ini hanya memperkirakan pemangkasan suku bunga RBNZ sebesar 16 basis poin pada 2024, sedangkan Federal Reserve kemungkinan memangkas sampai 110 basis poin.
Spekulasi suku bunga ini semestinya mendongkrak nilai tukar dolar New Zealand. Akan tetapi, mata uang Antipodean saat ini masih bergumul dengan beberapa faktor lain yang cenderung membebani proyeksinya ke depan. Pertama, ketidakpastian seputar suku bunga The Fed. Kedua, pertumbuhan ekonomi China yang mengecewakan dan kemungkinan bakal menyeret turun pertumbuhan ekonomi kawasan serta negara-negara mitra dagangnya.
( ANALISA.FOREX )